Penyesalan Seorang Ibu

Posted on April 26, 2025
Penyesalan Seorang Ibu

Penyesalan Seorang Ibu terhadap Anaknya, Sang Madrasatul Ula yang Terlupakan

Aku adalah seorang ibu. Dahulu, saat pertama kali kugendong buah hatiku, aku berjanji akan menjadi pelindungnya, pengasuhnya, pendidiknya. Aku tahu, aku adalah madrasatul ula — sekolah pertama bagi anakku. Tapi waktu berjalan… dan aku terlalu sibuk.

Aku sibuk dengan pekerjaan rumah, sibuk dengan urusan dunia, sibuk dengan ponselku… hingga aku lupa satu hal: anakku butuh aku, bukan hanya tubuhku, tapi juga jiwaku.

Kini, saat anakku tumbuh menjadi remaja yang sulit diatur, yang menjauh dari agama, yang lebih memilih teman-teman luar daripada rumah… hatiku perih. Inilah penyesalan yang kutulis, agar menjadi pelajaran untuk para ibu lain, sebelum semuanya terlambat.


Aku Menyesal… karena tidak mengenalkannya pada Allah sejak kecil

Aku kira, ia akan belajar sendiri di sekolah. Aku kira, shalat bisa dia pelajari saat dewasa. Aku tak ajarkan doa, tak ajak shalat berjamaah, bahkan sering lalai shalat di hadapannya. Kini, ia tumbuh asing dengan sajadah, dan Al-Qur’an hanya menjadi pajangan.

> "Seandainya aku dulu rutin membisikkan nama Allah di telinganya, mungkin hari ini ia bersujud dalam tenang, bukan tenggelam dalam keresahan."



Aku Menyesal… karena lebih banyak marah daripada mendengar

Aku sering menyuruh, tapi jarang mendengarkan. Aku mudah marah, meski hanya karena hal sepele. Aku lupa bahwa anak bukan robot. Ia ingin dimengerti, bukan dimaki.

Kini, setiap ucapanku dianggap angin lalu. Ia lebih percaya orang lain, karena aku terlalu sering membungkamnya.



Aku Menyesal… karena tak menjadi contoh yang baik

Bagaimana bisa aku melarang ia berbohong, sedangkan aku sendiri berbohong di depannya? Bagaimana bisa aku memintanya sopan, sedangkan lidahku kasar di rumah? Aku lupa, anak tidak hanya mendengar… ia meniru.

> “Kini aku sadar, anakku adalah cerminan diriku. Dan bayangan yang kulihat, membuatku menangis.”



Aku Menyesal… karena mendidiknya dengan gadget, bukan dengan kasih sayang

Agar ia diam, aku beri HP. Agar ia tenang, aku hidupkan TV. Aku kira itu solusi. Tapi justru dari situlah ia belajar hal-hal yang tak seharusnya ia lihat. Aku tak hadir di saat ia butuh pelukan. Aku tergantikan layar.

Kini, ia lebih akrab dengan dunia maya, daripada dengan rumah.



Aku Menyesal… karena aku menyesal terlalu terlambat

Waktu tak bisa kembali. Tapi air mataku hari ini adalah doa. Aku ingin menebus semua ini. Aku ingin ia tahu, bahwa meski dulu aku gagal menjadi madrasah pertamanya, aku tak ingin gagal menjadi tempat pulangnya.



Untuk Para Ibu…

Jangan tunggu penyesalan. Jadilah madrasah pertama anakmu dengan sepenuh cinta, iman, dan teladan. Hadirkan dirimu, bukan hanya jasadmu. Ajarkan ia mencintai Tuhannya, menghormati orang tuanya, dan bangga pada dirinya.

Anak adalah amanah, bukan beban. Jangan tunggu hingga anak berkata:

> "Ibu terlalu sibuk untuk mencintaiku dulu, biarkan aku sibuk sendiri sekarang."



Semoga kita tak menjadi ibu yang menyesal, tapi menjadi ibu yang dikenang dalam setiap doa anaknya.



Ciri-Ciri Ibu yang Tidak Baik bagi Anaknya sebagai Madrasatul Ula

Dalam Islam, ibu adalah madrasatul ula – sekolah pertama bagi anak-anaknya. Dari rahim ibu, anak terlahir suci, dan dari pangkuan ibunya, ia mulai belajar mengenal dunia. Namun, betapa sering kita lupa bahwa kepribadian anak dibentuk bukan hanya oleh sekolah atau lingkungan luar, tetapi dimulai dari rumah, dari seorang ibu.

Tak sedikit ibu yang mencintai anaknya, tetapi tanpa sadar melakukan hal-hal yang justru menjauhkan anak dari kebaikan. Berikut adalah beberapa ciri ibu yang belum baik dalam menjalankan perannya sebagai madrasatul ula.


1. Tidak Mengenalkan Agama Sejak Dini

Seorang ibu seharusnya menanamkan nilai-nilai tauhid dan ibadah sejak anak masih kecil. Namun ketika ibu lalai dalam mengajarkan shalat, tidak membiasakan doa harian, dan tak memberi contoh akhlak Islami, anak akan tumbuh tanpa pondasi iman yang kokoh. Kelak ia mudah goyah, karena sejak kecil tak pernah dikenalkan siapa Tuhannya.

> “Anak bukan hanya butuh makanan untuk tumbuh, tetapi juga cahaya iman untuk hidup.”


2. Kurang Memberi Kasih Sayang

Ada ibu yang hadir secara fisik, tetapi jiwanya jauh dari anak. Tak ada pelukan, tak ada tatapan hangat, tak ada kata “Ibu bangga padamu.” Anak pun tumbuh dengan luka batin, merasa tak cukup berharga, dan mencari kasih sayang di luar yang belum tentu benar.

> “Anak yang tak merasa dicintai, akan kesulitan mencintai dirinya sendiri.”


3. Terlalu Keras atau Terlalu Memanjakan

Ibu yang terlalu keras membentuk anak menjadi penakut, pendendam, atau pemberontak. Sebaliknya, ibu yang terlalu memanjakan anak membuatnya tumbuh manja dan lemah menghadapi kehidupan. Keseimbangan antara tegas dan lembut adalah kunci yang sering dilupakan.


4. Memberi Contoh Buruk di Rumah

Ibu adalah cermin bagi anak. Ketika ibu sering berbohong, bergosip, marah-marah, atau berbicara kasar, anak akan menirunya. Sekolah boleh mengajarkan akhlak mulia, tapi jika di rumah anak menyaksikan yang sebaliknya, pelajaran itu hanya akan jadi hafalan, bukan pembiasaan.

> “Ibu adalah guru pertama, dan contoh nyata yang pertama.”



5. Mengabaikan Pendidikan Sosial Anak

Seorang ibu juga bertugas mendidik anak agar tahu bagaimana berperilaku di masyarakat: menghormati yang lebih tua, menyayangi yang muda, tidak menyakiti, dan suka membantu. Ketika ibu tidak peduli pada hal ini, anak akan tumbuh egois dan sulit beradaptasi dengan orang lain.



Penutup: Renungan untuk Kita Semua

Menjadi ibu adalah anugerah besar, sekaligus amanah yang berat. Kita mungkin tidak sempurna, tetapi kita bisa belajar dan memperbaiki diri. Jangan sampai anak-anak kita tumbuh dengan luka yang bersumber dari ibunya sendiri.

Mari menjadi ibu yang bukan hanya melahirkan, tetapi juga membesarkan dengan cinta, iman, dan akhlak. Karena dari rahim seorang ibu, lahir generasi masa depan—maka pastikan mereka lahir dari cinta, dibesarkan dengan ilmu, dan diarahkan dengan doa.

> “Jika seorang ibu baik, maka baiklah seluruh masyarakat.”

← Back to News